Seperti pagi-pagi sebelumnya, saat terbangun aku tidak menemukan sosok wanita yang kucintai ada disampingku.
Aku sudah lama terbiasa bangun pagi sendiri, tanpa kecupan manis darinya seperti saat masa-masa awal pernikahan kami.
Aku pun sudah lama terbiasa membuat kopi untukku sendiri.
"Pagi, mas," istriku tercinta menyapa lalu memberi kecupan sekilas di pipiku kemudian berlalu sambil membawa keranjang pakaian kotor.
Aku membuka rice cooker dan tidak menemukan apapun didalamnya. Kemudian kulihat meja makan dan tidak menemukan apapun terhidang diatasnya.
Aku pun menghela nafas. Memaklumi kesibukan istriku di pagi hari, dengan kerepotannya mengurus rumah sambil mengasuh kedua anak kami tanpa kehadiran seorang pembantu.
Istriku, dengan daster lusuhnya, kulihat sedang sibuk memandikan anak pertama kami, menyiapkannya untuk berangkat ke sekolah. Aku pun melanjutkan menikmati kopi pahitku. Kemudian aku mendengar jerit tangis bayi dari kamar anak-anak.
"Jangan diam saja, mas. Tolong angkat si Yoga, mungkin dia butuh ganti popok atau kalau popoknya masih bersih, langsung saja buatkan susu. Aku masih repot mandikan Adam, nih."
Aku pun langsung menuju kamar anak-anak dan melaksanakan arahan istriku.
Ternyata popok Yoga masih bersih, jadi aku langsung membuatkannya susu.
"Ya ampun mas, susunya kok banyak sekali. Kan sudah kubilang berkali-kali, kalau pagi, susu untuk Yoga buatkan 100 ml aja." Istriku meraih botol susu dari tanganku lalu mengambil alih tugas membuat susu.
"Adam seragam sekolahnya kotak-kotak merah hari ini. Tolong isi botol minumnya lalu masukkan kedalam tasnya." Aku pun mengela nafas. Ikut pusing dengan segala keruwetan pagi ini.
Jam setengah tujuh pagi. Seharusnya aku sudah harus bersiap-siap untuk berangkat kerja sekarang.
Setelah memakaikan seragam Adam, aku lalu bergegas mandi.
Setelah rapi, aku menghampiri istriku yang kini sedang menimang-nimang Yoga sambil berusaha menidurkannya kembali.
"Aku sarapan apa?" Segera setelah melontarkan pertanyaan itu, aku melihat ekspresi wajah istriku semakin tidak karuan.
"Masih tanya sarapan apa?! Nggak lihat apa kalau aku belum sempat masak apa-apa? Nggak usah pake nanya lah mas, langsung saja ke warungnya mbak Asih seperti biasa."
Setelah mendengar jawaban yang tidak enak di kuping itu aku tidak mau lebih lama lagi berada dalam satu ruangan dengan istriku. Kuambil motor lalu kupacu menuju warung mbak Asih di ujung jalan.
Seperti biasa, warung mbak Asih sedang ramai pembeli. Aku memesan sepiring lontong sayur yang rencananya akan kumakan ditempat. Aku malas sarapan dirumah, malas terlibat lagi dalam keruwetan pagi hari dan bukannya mendapatkan ucapan terima kasih, malah kalimat pedas yang kudapat.
Setelah menunggu beberapa lama, mbak Asih akhirnya mengantarkan pesananku. Sepiring lontong sayur dan segelas teh panas.
"Monggo, mas." Senyum cerah menghiasi wajah manis mbak Asih, yang walaupun usianya sudah lewat lima puluhan tapi masih saja menawan.
Wajah yang tetap sumringah meski warungnya sedang ramai pembeli dan lipstik merah merona yang dipakainya memberi rasa yang lebih pada lontong sayur yang sedang kumakan.
Ahhh... Inilah sarapan kesukaanku. Lontong sayur dan teh hangat yang disajikan dengan seulas senyum menawan dari bibir segar berwarna merah merona yang mampu membuatku lupa pada keruwetan pagi ini, juga omelan serta wajah marah-marah istriku.